Aku selalu lupa untuk lebih dulu berbasa-basi. Ah, tapi tidak penting juga. Buat apa? Kita tidak perlu saling tahu kabar masing-masing. Kita tidak pernah bertukar kabar masing-masing. Kita hanya saling tahu, kita sedang menghadapi sesuatu yang begitu besar dan memberatkan hati. Dari mana kita tahu? Kamu percaya intuisi. Aku percaya firasat. Kita mengagumi seorang penyair sufi yang sama, Jalaluddin Rumi. Seorang penyair sufi yang lahir di Balkh.
Aku rindu sekali membaca buku-buku yang ringan, tapi mendalam. Tidak seperti surat-suratku padamu yang tampak dalam, tapi sebenarnya ringan. Sejauh ini, aku masih berkutat pada mem-fiksi-kan kenyataan. Membahasakan perasaan-perasaan yang tidak dapat dijabarkan sendiri oleh yang sedang merasakan. Belum bisa sampai pada taraf menjadikan cerita fiksi seolah-olah kehidupan nyata dan benar-benar ada, bukan hanya di kepala kita.
Kamu belum bosan menerima surat-suratku kan?
Maaf ya, aku tidak lagi bisa menulis banyak hal untukmu, sesering dulu.
Aku sedang kelelahan dengan banyak pikiran yang berkelindan di kepala. Persis sepertimu kan? Hanya saja, bedanya, kamu terus menghadapi semua hal dengan berani. Berbeda sekali denganku yang terus melarikan diri.
Aku mulai takut sekali mengumbar kata-kata. Segalanya selalu dikembalikan padaku. Seakan aku tidak boleh salah. Seakan aku harus terus sesempurna kata-kata yang kutuliskan.
Padahal, bagaimana mungkin ada dunia ideal? Segala drama itu adalah jubah kebesaran. Aku hanya mencoba menerjemahkan. Itu bukan aku. Itu hanya dunia yang ada di awang-awang. Bagaimana bisa mereka begitu buta sehingga kesulitan untuk membedakan?