“MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO”
(Dialog Mengharukan Antara Presiden Soekarno–Letjen. Soeharto)1
Di saat demonstrasi mahasiswa mewarnai suasana Jakarta, di Istana Merdeka saya mengadakan dialog dengan Bung Karno. Itu menyambung pembicaraan mengenai situasi dan mengenai PKI. Saya berkeyakinan bahwa pikiran Bung Karno mengenai jalan keluar kurang tepat. Saya terus berusaha supaya beliau mengerti dan menyadari perubahan yang telah terjadi. Sampai akhirnya rupanya beliau bertanya-tanya, mengapa saya tidak patuh kepadanya.
Sewaktu kami berdua, Bung karno bertanya dalam bahasa Jawa, di tengah-tengah suasana Jakarta, “Harto, Jane aku iki arep kok apakke?” (Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan?) Aku ini pemimpinmu”
Saya memberikan jawaban dengan satu ungkapan yang khas berakar pada latar belakang kehidupan saya.
“Bapak Presiden,” jawab saya, “saya ini anak petani miskin. Tetapi ayah saya setiap kali mengingatkan saya untuk selalu menghormati orang tua. Saya selalu diingatkannya agar dapat mikul dhuwur mendhem jero (memikul setinggi-tingginya, memendam sedalam-dalamnya; menghormat) terhadap orang tua.”
Dengan jawaban itu saya bermaksud dan bertujuan seperti kudangan ayah saya kepada saya. Orang tua saya, sekalipun petani, orang kecil, orang yang tidak mendapat pendidikan formal, mempunyai kudangan terhadap anaknya, mempunyai cita-cita mengenai anaknya, yakni agar saya ini menjadi anak yang bisa mikul dhuwur mendhem jero pada orang tua. Saya pun mempunyai keyakinan, bahwa pegangan hidup seperti itu adalah benar, dan tepat sekali.
Mikul dhuwur, artinya kita harus menghormati orang tua dan menjunjung tinggi nama baik orang tua.
Mendhem jero, artinya segala kekurangan orang tua itu tidak perlu ditonjol-tonjolkan. Apa lagi ditiru!. Kekurangan itu harus kita kunur sedalam-dalamnya, supaya tidak kelihatan.
Dalam pada itu, nama baik orang tua harus kita junjung setinggi-tingginya sehingga terpandang keharumannya.
“Bagus,” jawab Bung Karno.
“Bapak tetap saya hormati, seperti saya menghormati orang tua saya. Bagi saya, Bapak tidak hanya pemimpin bangsa, tetapi saya anggap orang tua saya. Saya ingin mikul dhuwur terhadap Bapak. Sayang, yang mau di-pikul dhuwur mendhem jero tidak mau,” kata saya.
Saya yakin, Bung Karno paham benar akan ungkapan yang saya kemukakan itu.
Sebentar Bung Karno diam, menarik muka serius seperti semula.
“Betul begitu, Harto?” tanyanya kemudian.
“Betul, Pak, Insya Allah. Soalnya bergantung pada Bapak.”
“Nah, kalau betul kau masih menghormati aku dan menghargai kepemimpinanku, kuperintahkan kau menghentikan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu. Aksi-aksi mereka keterlaluan. Tidak sopan! Liar! Mereka sudah tidak sopan dan tidak hormat kepada orang tua. Mereka tidak bisa dibiarkan, Harto. Kau kuminta mengambil tindakan terhadap mereka.”
“Maaf, Pak. Saya pikir, masalah ini berkenaan dengan pembenahan negara kita secara keseluruhan. Yang saya maksud, penyelesaian politik mengenai Gestapu/PKI seperti yang Bapak janjikan. Kalau sekarang Bapak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa PKI dibubarkan dan dilarang, saya percaya mahasiswa itu akan menghentikan aksi-aksinya. Karena saya juga dituntut oleh mereka.”
“Penyelesaian politik Gestapu, Gestok, PKI lagi yang kau sebut, Harto. Kamu tadi mengatakan, tetap menghormati kepemimpinanku.”
“Tak pernah goyah, Pak”.
“Kalau begitu, laksanakan perintahku,” kata Bung Karno.
Saya tidak menjawab. Bung Karno juga diam.
Kemudian berulang kali saya renungkan adegan ini.
“Jane aku iki arep kok apakke?”
Saya artikan itu, beliau belum saja bisa menangkap sikap saya. Kata-kata saya yang terus menerus saya sampaikan kepada beliau, yang selalu berbeda dengan pendiriannya, belum bisa saja beliau tangkap. Atau bisa beliau tangkap, tetapi belum beliau yakini benar-benar.
Beliau mempunyai satu pendirian, saya mempunyai pendirian lain. Tetapi saya tidak menantang begitu saja. Namun juga tidak patuh begitu saja. Saya sebagai bawahan sebenarnya harus taat. Apa yang diperintahkannya seharusnya saya patuhi. Tetapi saya sebagai pejuang tidak mungkin patuh begitu saja.
Ya, saya jawab pertanyaan Bung Karno itu, “Saya akan mikul dhuwur mendhem jero.”
Dilihat dari segi agama maupun kebatinan, pegangan “mikul dhuwur mendhem jero” itu merupakan realisasi daripada iman, daripada percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Apa wujud iman yang digambarkan di sini?. Mengakui kenyataan bahwa orang tua merupakan perantara daripada lahirnya manusia. Tuhan menciptakan manusia melalui orang tua, yaitu ayah dan ibu. Oleh karena itu, orang yang beriman, yang percaya pada Tuhan, wajib menghormati orang tua. Karena orang tua itulah yang menjadi perantara kita sampai lahir di dunia ini dan mengasuh kita sampai betul-betul kita bisa hidup sendiri sebagai orang dewasa.
Begitu juga sikap kita terhadap guru. Guru menjadi perantara kita sehingga kita mengetahui sesuatu, dari tidak bisa membaca sampai bisa membaca, dari tidak bisa menghitung sampai bisa menghitung. Begitu juga halnya sampai kita bisa menulis.
Oleh karena itu, kita wujudkan takwa kepada Tuhan itu berdasarkan iman, antara lain dengan menghormati orang tua dan guru kita.
Namun, ternyata saya tidak patuh secara begitu saja. Sebab, kalau saya menurut kehendak beliau, berarti saya berbuat salah.
Dalam pada itu, terhadap beliau saya tetap bersikap sebagai anak kepada bapak. Tetap tenang dan sabar bila menghadapi beliau sedang marah. Saya selalu ingat falsafah “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti”.
Tanggal 25 Februari 1966, Kogam mengadakan rapat berjam-jam lamanya. Keputusan yang dituangkan dalam tulisan yang rapi pada esok harinya, menetapkan antara lain, Presiden Soekarno sebagai Panglima Kogam membubarkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Keputusan itu yang khususnya ditujukan kepada mahasiswa menyebutkan juga, melarang berkumpul lebih dari lima orang serta disangkutkan pula dengan pelaksanaan pengganyangan terhadap Malaysia.
Namun, setelah KAMI dibubarkan, tidak berarti bahwa gerakan para Mahasiswa itu berhenti. Perjuangan mereka beralih ke tangan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia dan aksi-aksi gencar terhadap berbagai departemen diteruskan. Demam demonstrasi dengan tuntutan Tritura meliputi ibukota. Tak ada hentinya. Pemuda, mahasiswa dan pelajar terus memenuhi jalan-jalan.
Sementara itu saya keluar masuk Istana dalam pakaian tempur, bertemu dan berbicara dengan Presiden Soekarno. Saya dengarkan pendirian beliau. Presiden kita terus pada pendiriannya. Sementara saya mengajukan pendirian saya dengan cara hormagt dan tetap menghargai pucuk pimpinan pemerintah yang lebih tua daripada saya.
Akhirnya beliau yakin bahwa saya tidak mudah untuk diperintah begitu saja, bahwa saya mempunyai pendirian.
Saya pernah mengatakan pada beliau, “Pak, alangkah baiknya kalau memang kita sudah salah kita kemudian mundur. Mundur tetapi untuk menang. Mundur selangkah, tetapi untuk maju lebih jauh lagi.”
Masalahnya amat sepele, yakni membubarkan PKI. Tetapi beliau mempunyai keyakinan tersendiri, dan beliau tidak mau membubarkan PKI, tidak bergeser sedikitpun. Apa sebabnya? Bung Karno berpendirian bahwa PKI tidak bisa dibubarkan. Kalau dibubarkan dan dilarang akan bergerak di bawah tanah dan akan lebih berbahaya.
Saya memberikan argumentasi lain. PKI bisa dilarang, tidak berbahaya, asal rakyat kita ajak. Kita harus memisahkan PKI dari rakyat. Dan ini pernah terjadi pada waktu menghadapi pemberontakan PKI/Muso di Madiun tahun 1948. Bung Karno menanyakan pada rakyat, “Pilih Muso atau pilih Soekarno/Hatta”. Rakyat pilih Soekarno/Hatta dan pemberontakan PKI bisa diatasi karena rakyat ikut serta. Apalagi sekarang. Bung Karno bisa tanya pada rakyat, “Pilih PKI atau Pancasila”, pasti rakyat pilih Pancasila.
Pada kesempatan berdialog lainnya Bung Karno menegaskan “Har, saya ini sudah diakui sebagai pemimpin dunia, konsep Nasakom sudah saya jual kepada bangsa-bangsa di dunia ini. Sekarang saya harus membubarkan PKI, dimana, Har, saya harus menyembunyikan muka saya”.
Dengan tenang dan hormat tetapi sungguh-sungguh saya menjawab. “Pak, kalau masalahnya untuk konsumsi dunia luar, gampang, jadikan saya bumper, saya yang akan membubarkan PKI, bukan Bapak, tetapi kedalam negeri Bapak harus ngegongi (menyetujui).” Beliau tetap pada pendiriannya, dan rupanya belum bisa menangkap sikap saya yang sebenarnya, hingga lahirlah pertanyaan yang sangat mengharukan “jane aku iki arep kok apakke.”
Saya ingat minggu-minggu itu penuh dengan pertemuan dan pembicaraan hangat. Udara politik masih tetap panas dan meresahkan.
Tanggal 10 maret, pukul 02 dinihari, pimpinan mahasiswa saya undang ke Kostrad. Saya bicara dengan mereka. Pada kesempatan itu hadir dan bicara pula Subchan ZE.
Kerja berat terus menerus sampai larut malam seperti itu menyebabkan saya sakit tenggorokan sehingga saya tidak bisa hadir pada Sidang Kabinet di Istana tanggal 11 Maret pagi-pagi.